Ambon, Maluku – Wakil Gubernur Maluku, menilik lambatnya pertumbuhan ekonomi daerah akibat lambannya realisasi belanja pemerintah. Hal itu ia sampaikan usai membuka Rapat Kerja Daerah (Rakerda) I Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Provinsi Maluku di Ballroom Hotel Kamari Ambon, Kamis (21/8/2025).
“Pertumbuhan ekonomi kita di Maluku melambat karena belanja pemerintah belum berjalan. Belanja rumah tangga relatif stabil, tetapi proyek pemerintah belum bergerak. Ini yang membuat pertumbuhan melambat,” tegas Vanath kepada wartawan.
Ia mengingatkan, dengan sisa waktu empat bulan menuju akhir tahun, pemerintah daerah harus mampu mengelola anggaran secara efektif. Jika tidak, pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan kembali turun.
“Kalau anggaran tidak segera dicairkan, peredaran uang di masyarakat berkurang, daya beli turun, otomatis pertumbuhan ekonomi juga melemah. Itu rumus baku,” ujarnya.
Dengan nada bercanda, Vanath berpesan kepada anggota IWAPI yang memiliki pasangan pejabat agar turut mengingatkan pentingnya percepatan realisasi program.
“Jangan sampai dana ditahan terlalu lama di pemerintah daerah, karena dampaknya langsung terasa di masyarakat,” katanya.
Pemangkasan RAPBN 2026
Lebih jauh, Vanath menekankan perlunya kreativitas kepala daerah dalam menghadapi tantangan ke depan, terutama terkait kebijakan fiskal nasional.
Ia merujuk pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang dirancang pemerintah pusat dengan alokasi Dana Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp650 triliun, atau turun drastis sekitar Rp269 triliun dibanding proyeksi 2025 sebesar Rp919,9 triliun. Penurunan ini setara dengan 29,3% dari alokasi sebelumnya.
“Dengan transfer pusat yang turun tajam, ruang fiskal daerah semakin sempit. Kita tidak boleh hanya mengandalkan dana perimbangan dari pusat,” tegas Vanath.
Menurutnya, rencana pemangkasan tersebut harus menjadi alarm bagi pemerintah daerah agar lebih inovatif dalam mengelola keuangan.
Kepala daerah, katanya, dituntut mampu mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), membangun kemitraan dengan sektor swasta, serta menciptakan skema pembiayaan baru tanpa membebani masyarakat kecil.
“Kalau kita gagal beradaptasi, maka pelayanan publik dan pembangunan bisa terganggu. Kreativitas dan efisiensi bukan lagi pilihan, tapi sudah jadi kebutuhan,” ujarnya.
